Bawaslu Kota Pekalongan Laksanakan Giat Penguatan Kelembagaan Bersama Mitra Kerja
|
Pekalongan – Minggu (07/09/2025), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Pekalongan menyelenggarakan kegiatan Penguatan Kelembagaan Pengawas Pemilihan Umum Bersama Mitra Kerja di Hotel Howard Johnson. Acara ini menghadirkan sejumlah narasumber penting, di antaranya Anggota Komisi II DPR RI, Wahyudin Noor Aly; Guru Besar Ilmu Perundang-undangan Universitas Diponegoro Semarang, Prof. Lita Tyesta Addy Listya Wardhani; serta Anggota KPU Provinsi Jawa Tengah, Basmar Perianto Amron.
Kegiatan yang digagas Bawaslu Kota Pekalongan ini diikuti oleh berbagai unsur, mulai dari stakeholder pemerintah, perguruan tinggi, hingga simpul-simpul organisasi masyarakat yang selama ini menjadi mitra kerja dalam pengawasan pemilu. Kehadiran berbagai elemen tersebut menjadi bukti komitmen bersama dalam memperkuat peran pengawasan demi terwujudnya pemilu yang berintegritas.
Dalam kegiatan tersebut turut diundang berbagai elemen penting dari lintas sektor di Kota Pekalongan. Dari unsur unsur pemerintah daerah hadir Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Kota Pekalongan. Dari aparat penegak hukum tampak Kasat Reskrim Polresta Pekalongan, Kasat Intel Polresta Pekalongan, serta Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Kota Pekalongan. Kehadiran unsur TNI juga terwakili oleh Pasi Intel Kodim 0710 Pekalongan.
Dari penyelenggara pemilu hadir Anggota KPU Kota Pekalongan, sedangkan dari dunia akademisi tampak Perwakilan Universitas Pekalongan (UNIKAL), Perwakilan UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan (UIN Gusdur),
Dari unsur organisasi masyarakat dan keagamaan hadir Ketua PC NU Kota Pekalongan, Perwakilan PC Muhammadiyah Kota Pekalongan,Lembaga Pendidikan Politik dan Demokrasi (LP2D) Kota Pekalongan, serta Ketua PWI Kota Pekalongan.
Selain itu, undangan juga mencakup berbagai komunitas dan organisasi kepemudaan maupun masyarakat sipil, di antaranya Anggota Saka Adhyasta, Sahabat DIFA, Perisai Demokrasi Bangsa, para Alumni Sekolah Kader Pengawas Partisipatif (SKPP), perwakilan Kampung Anti Politik Uang (APU), perwakilan Kampung Pengawasan, hingga perwakilan dari kalangan pemilih pemula.
Masyarakat umum juga turut diundang untuk berpartisipasi, serta jajaran internal Bawaslu Kota Pekalongan yang hadir secara penuh dalam kegiatan ini.
Dalam sambutannya, Wahyudi menekankan pentingnya kolaborasi antara Bawaslu dengan berbagai mitra strategis. Menurutnya, pengawasan tidak bisa dilakukan secara parsial, melainkan harus melibatkan seluruh elemen masyarakat agar kualitas demokrasi benar-benar terjaga.
“Bawaslu tidak dapat bekerja sendirian. Peran perguruan tinggi, organisasi masyarakat, dan stakeholder lain sangat penting untuk memastikan pengawasan berjalan efektif. Kegiatan penguatan kelembagaan ini menjadi wadah untuk menyamakan persepsi sekaligus memperkuat jaringan kerja sama,” tegasnya.
Menurutnya, pengawasan bukan hanya menjadi tugas Bawaslu atau aparat penegak hukum, tetapi juga masyarakat sipil. “Masyarakat bukanlah penonton, melainkan aktor penting agar pemilu berjalan jujur, adil, dan menghasilkan pemimpin yang amanah,” ungkap Wahyudin.
Ia menambahkan, pemilu bukan sekadar proses politik, tetapi momentum penting untuk memperkuat kultur demokrasi negara. Dari pemilu yang baik, diharapkan tercipta efisiensi, daya saing, dan yang terpenting: kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Namun, Wahyudin juga menyoroti sejumlah tantangan, terutama terkait ketimpangan kewenangan fiskal antara pusat dan daerah. Menurutnya, masih banyak daerah kaya yang belum mampu memaksimalkan potensi kekayaannya karena sebagian besar kewenangan fiskal tersentralisasi di pemerintah pusat. Daerah masih bergantung pada dana transfer. “Jika kondisi ini terus berlanjut, maka kemandirian fiskal tidak akan pernah tercapai,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia mendorong agar daerah diberikan ruang lebih besar untuk mengelola potensi dan kekayaannya. Negara akan maju bukan hanya karena pusat kuat, tetapi juga karena daerah-daerah mandiri dan sejahtera. “Mari bersama-sama kita perbaiki demokrasi dan pemilu ke depan. Mari kita evaluasi pilihan-pilihan sebelumnya, dan memastikan ke depan regulasi yang kita bangun benar-benar membawa kemakmuran bagi rakyat,”tutur Wahyudin.
Menurutnya, penguatan kelembagaan pengawas pemilu harus ditopang pemahaman mendalam terhadap regulasi agar setiap langkah pengawasan memiliki dasar hukum yang kokoh. “Saya tidak tahu apakah ini benar-benar akan terjadi. Namun, setelah melihat berbagai kondisi, ternyata apa yang dulu hanya sekadar prediksi, kini mulai tampak menjadi kenyataan. Situasi ini menunjukkan bahwa kita memang sedang menghadapi tantangan yang nyata. Dari tiga pola yang terlihat di lapangan, kota menjadi pusat perhatian. Rumah-rumah di perkotaan bisa menjadi simbol bagaimana pembangunan diarahkan, agar masyarakat merasa diberi ruang dan kesempatan. Pembangunan yang kita lakukan harus menyeluruh, mulai dari jangka panjang hingga target-target menengah, bahkan hingga 2019 dan seterusnya. Fokus pembangunan bukan hanya soal fisik, tetapi juga menyangkut peran-peran penting yang dibutuhkan oleh bangsa ini. Jika tidak dikelola dengan baik, kita akan menghadapi pertikaian kapasitas, baik di level nasional maupun lokal. Maka, dibutuhkan rancangan yang jelas, bukan hanya reaksi sesaat terhadap situasi. Mengenai undang-undang, sebenarnya banyak regulasi yang sudah baik. Namun, masalahnya bukan semata-mata pada teks undang-undang, melainkan pada bagaimana implementasi dan penerapannya di lapangan. Sebagus apa pun undang-undang, jika tidak dijalankan dengan konsisten, maka hasilnya tidak akan terasa oleh masyarakat.” ucapProf. Lita.
Kita juga melihat masih banyak persoalan teknis di lapangan. Mulai dari perbedaan data, loncatan rekapitulasi suara, hingga masalah teknis lain yang seharusnya bisa diantisipasi oleh penyelenggara. Ditambah lagi, dinamika politik dan sosial semakin kompleks. Situasi politik kita semakin dinamis, bahkan sering kali menimbulkan kegaduhan yang luar biasa.
Oleh karena itu, kita harus memastikan bahwa sistem politik dan pemilu kita berjalan dengan cara yang lebih sistematis dan masif. Tidak cukup hanya alternatif kebijakan, tetapi perlu model yang menyeluruh, berkelanjutan, dan melibatkan semua pihak. Dalam konstitusi kita sudah jelas diatur bahwa anggota DPR bisa diberhentikan sesuai mekanisme yang ada. Namun, Presiden tidak bisa begitu saja membekukan atau memberhentikan DPR. Sebaliknya, DPR bisa memberhentikan Presiden melalui mekanisme pemakzulan sebagaimana diatur dalam Pasal 7B UUD 1945.
Prof. Lita menyampaikan : Kenapa saya singgung hal ini? Karena sering kali dalam suasana panas politik, kita cenderung emosional. Mahasiswa misalnya, sering turun ke jalan. Demo itu sah, tetapi demo harus cerdas. Jangan sampai teriak-teriak tanpa arah lalu dipermalukan karena tidak memahami substansi. Contoh pernah terjadi ketika mahasiswa mendemo Undang-Undang Cipta Kerja, dan ternyata banyak yang keliru memahami isinya.
Nah, dari situ kita belajar bahwa demokrasi membutuhkan pengawasan yang kuat. Pertanyaan mendasar: mengapa kita butuh pemilu?
Karena negara ini, layaknya sebuah organisasi, butuh mekanisme agar roda pemerintah tetap berjalan. Konstitusi kita sudah mengamanatkan pemilu lima tahun sekali. Tanpa pemilu, kita tidak bisa membayangkan bagaimana negara ini akan berjalan.
Karena itu, kita membutuhkan penyelenggara pemilu. Tuntutannya besar: harus profesional, berintegritas, dan memahami instrumen hukum. Kalau penyelenggara pemilu tidak bekerja dengan benar, maka kualitas demokrasi kita pun terganggu. Waktu pandemi Covid-19, sempat ada wacana menunda pemilu. Padahal secara konstitusi itu tidak mungkin. Syukurlah, dengan izin Tuhan, pemilu tetap bisa dilaksanakan sesuai jadwal.
Lalu, apa syarat agar pemilu dan pilkada berjalan demokratis? Paling tidak ada empat hal penting:
1.Kepastian hukum. Aturan mainnya jelas dan konsisten. Kalau ada perubahan kecil, maka instrumennya juga harus jelas.
2.Penyelenggara pemilu yang independen. Tidak hanya tidak memihak, tapi juga harus menjaga etika. Bahkan sekadar ngobrol dengan pihak yang diawasi pun bisa dianggap melanggar prinsip independensi.
3.Partisipasi masyarakat. Tanpa dukungan masyarakat, penyelenggara tidak mungkin bisa mengawasi seluruh proses pemilu. Di sinilah pentingnya kelompok-kelompok masyarakat seperti organisasi kepemudaan, termasuk Pramuka, untuk ikut aktif.
4.Integritas kelembagaan. Baik KPU, Bawaslu, maupun DKPP harus menjaga marwahnya sebagai lembaga pengawal demokrasi.
“Saya mengibaratkan penyelenggara pemilu itu seperti mobil. KPU yang memegang setir, sedangkan Bawaslu berada di belakang dengan teropong, mengawasi ke segala arah. Pertanyaannya: apakah tiga orang pengawas di satu kota mampu mengawasi 360 derajat jalannya pemilu? Jawabannya: tidak mungkin, kalau tidak ada dukungan partisipasi masyarakat.” Ujar Prof Lita , itulah sebabnya, partisipasi publik menjadi kunci agar demokrasi dan pemilu berjalan sesuai cita-cita.
Sementara itu, Anggota KPU Jawa Tengah, Basmar Perianto Amron, menegaskan bahwa koordinasi antara penyelenggara dan pengawas adalah kunci utama suksesnya penyelenggaraan pemilu. Ia mengajak semua pihak untuk terus menjaga sinergi, mengingat tahapan pemilu seringkali diwarnai dinamika yang membutuhkan komunikasi intensif. Jangan-jangan, kalau kita merasa salah memilih wakil, sebenarnya kesalahannya ada pada kita sendiri. Karena itu, penting bagi kita untuk lebih cermat dan serius dalam menentukan siapa yang akan mewakili kepentingan kita.
Saya teringat sebuah kutipan dari Steve Jobs: “Ketika nelayan tidak bisa pergi ke laut, mereka memperbaiki jalannya.” Artinya, meskipun kita tidak sedang melakukan kegiatan utama, kita tetap harus melakukan hal-hal yang ada hubungannya dengan tugas utama kita. Demikian juga dengan pemilu. Walaupun hari ini kita tidak sedang melaksanakan pemilu atau pilkada, kita tetap perlu melakukan kegiatan yang relevan, seperti memperkuat kelembagaan, meningkatkan kualitas pemilih, dan memperbaiki penyelenggaraan pemilu.
Setiap kegiatan kita harus diarahkan pada peningkatan kualitas pemilu dan pilkada di masa depan, baik melalui evaluasi maupun penguatan sistem. Karena itu, meskipun diskusi kita hari ini tidak persis sesuai dengan materi paparan, tetap ada garis merahnya: bagaimana memperkuat demokrasi.
Kalau kita bicara pemilu, ada beberapa tahapan penting. Pertama, pembentukan daerah pemilihan. Ini sangat menentukan karena di situlah partai politik menempatkan calon yang berpotensi menang. Kedua, proses pencalonan, yang memastikan kandidat yang maju memang layak dan mampu bertarung. Ketiga, pemungutan dan penghitungan suara, yang harus dilakukan secara transparan dan akurat. Keempat, metode penghitungan suara, apakah sistem proporsional terbuka ini lebih menguntungkan partai besar atau kecil. Semua ini bagian dari desain strategi sistem pemilu.
Selain itu, kita juga harus mencermati kelemahan-kelemahan dari penyelenggaraan pemilu sebelumnya. Dari sanalah kita bisa melakukan evaluasi dan perbaikan. Saya sendiri punya pengalaman panjang di dunia kepemiluan. Tahun 2008 saya menjadi Panwaslu Kota Magelang hingga 2013, lalu bergabung dengan KPU. Dari pengalaman itu, saya melihat langsung bagaimana proses penguatan kelembagaan Bawaslu. Sebelum tahun 2010, Panwaslu dibentuk oleh KPU. Artinya, yang diawasi justru membentuk pengawasnya sendiri—tentu ini bermasalah. Berkat perjuangan Bawaslu, melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi, akhirnya sejak 2010 Bawaslu memiliki kewenangan penuh untuk membentuk pengawas pemilu secara independen.
“Inilah contoh nyata bahwa kelembagaan kita terus berkembang menuju arah yang lebih baik. Tugas kita sekarang adalah menjaga semangat perbaikan itu agar pemilu ke depan lebih berkualitas, jujur, dan adil”. Kata Basmar periyanto
Melalui kegiatan ini, Bawaslu Kota Pekalongan berharap peran serta mitra kerja dapat semakin optimal dalam mendukung pengawasan partisipatif. Selain memperkuat kelembagaan, forum ini juga menjadi ruang dialog terbuka untuk menyerap aspirasi, masukan, dan kritik konstruktif demi penyelenggaraan pemilu yang lebih berkualitas.