Semangat Baru! 27 Anggota Saka Adhyasta Pemilu Resmi Dilantik di Kota Pekalongan
|
Liputan Khusus
Pekalongan, Sabtu (13/09/2025) – Semangat kebersamaan dan optimisme generasi muda terlihat jelas di Kota Pekalongan ketika Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Pekalongan menyelenggarakan Pelantikan Anggota Saka Adhyasta Pemilu. Kegiatan ini menjadi momentum penting bagi 27 pelajar SMA dan SMK Penegak – Pandega yang resmi bergabung menjadi anggota baru setelah melewati serangkaian aktivitas latihan mingguan yang tidak hanya seru, tetapi juga sarat dengan nilai edukasi demokrasi.
Acara pelantikan dimulai dengan apel pembukaan yang berlangsung khidmat. Ketua Bawaslu Kota Pekalongan, Kak Miftahuddin, hadir sebagai Pembina Apel. Dalam amanatnya, ia menekankan betapa strategisnya peran generasi muda dalam menjaga kualitas demokrasi Indonesia. “Generasi muda bukan hanya pemilih pemula, tetapi juga agen perubahan yang bisa memastikan jalannya demokrasi tetap berintegritas,” pesannya.
Turut hadir Ketua Dewan Kerja Cabang (DKC) Kota Pekalongan, Kak Hidayatullah, bersama jajaran. Kehadiran mereka tidak hanya memberikan dukungan moral, tetapi juga mempertegas sinergi antara pramuka dan Bawaslu dalam memperkuat pengawasan partisipatif. Menurut Kak Hidayatullah, Saka Adhyasta merupakan ruang pembelajaran yang unik, karena mampu memadukan nilai-nilai kepemimpinan, disiplin pramuka, dan pengetahuan tentang demokrasi.
Setelah mendapatkan penyampaian materi di ruang rapat Bawaslu Kota Pekalongan, para peserta Pelantikan Saka Adhyasta Pemilu berlanjut dengan agenda yang lebih menantang, menguji kekompakan, pengetahuan, serta fisik.
Sekitar tengah hari, usai sesi materi, seluruh peserta diarahkan untuk menikmati makan siang bersama. Suasana kebersamaan tampak kental ketika para peserta, yang berasal dari berbagai SMA dan SMK di Kota Pekalongan, duduk berbaur tanpa sekat sekolah maupun asal kelompok. Mereka saling bercengkerama, bertukar cerita, dan mempererat tali persaudaraan sebagai sesama calon anggota Saka Adhyasta.
Bagi peserta yang beragama Islam, kesempatan juga diberikan untuk melaksanakan salat Dzuhur berjamaah. Hal ini menegaskan bahwa kegiatan Saka Adhyasta tidak hanya menekankan aspek fisik dan pengetahuan, tetapi juga tetap memperhatikan kebutuhan spiritual. Usai istirahat dan ibadah, para peserta diminta untuk berganti pakaian olahraga yang sudah dipersiapkan. Halaman Kantor Bawaslu Kota Pekalongan di Jalan Pembangunan No. 5 tampak ramai dan penuh warna ketika para peserta muncul dengan seragam olahraga masing-masing.
Setelah semuanya siap, kegiatan pun memasuki babak baru, yaitu Jelajah Saka—sebuah rangkaian perjalanan lapangan yang dirancang secara khusus untuk memberikan pengalaman belajar demokrasi secara langsung. Kegiatan ini bukan sekadar jalan santai, tetapi sebuah simulasi perjalanan yang menuntut konsentrasi, kerja sama, serta pemahaman mendalam tentang tiga aspek penting tugas Bawaslu: pencegahan, pengawasan, dan penanganan pelanggaran. Secara berkelompok peserta diberangkatkan satu-persatu, dengan gagah sambal membawa bermacam bendera derap langkah mereka diiringi dengan yel-yel masing -masing tim.
Ditengah terik matahari yang menyegat namun tidak dianggap sebagai kendala perjalanan dimulai dengan menuju pos pertama yang berlokasi di jalan Bahagia Kota Pekalongan dan bertema Pencegahan. Pos ini dijaga oleh Kak Singgih dan Kak Sabar, dua pembina yang sejak awal sudah menyiapkan berbagai pertanyaan untuk menguji pengetahuan peserta.
Di sini, suasana terasa serius namun tetap menyenangkan. Para peserta dikelompokkan dan diminta menjawab pertanyaan seputar bentuk-bentuk pencegahan yang bisa dilakukan oleh Bawaslu. Misalnya, apa saja langkah-langkah konkret yang dapat ditempuh untuk mencegah pelanggaran pemilu sebelum terjadi, bagaimana sosialisasi kepada masyarakat dilakukan, hingga apakah konsep pengawasan partisipatif termasuk ke dalam bentuk pencegahan.
Diskusi berlangsung interaktif. Ada kelompok yang dengan cepat menjawab, namun ada pula yang sempat berdiskusi panjang sebelum berani mengemukakan pendapatnya. Kak Singgih dan Kak Sabar tidak hanya mendengarkan jawaban, tetapi juga memberikan penjelasan tambahan agar peserta semakin paham.
Momen menarik terjadi ketika salah satu kelompok menyebut bahwa “pencegahan berarti menunggu ada laporan dari masyarakat.” Kak Sabar langsung tersenyum sambil meluruskan, bahwa pencegahan justru dilakukan sebelum pelanggaran itu terjadi, melalui pendidikan, sosialisasi, dan keterlibatan masyarakat. Semua peserta tampak manggut-manggut, seolah mendapat pencerahan baru.
Lebih dari sekadar menjawab soal, pos ini mengajarkan bahwa pencegahan adalah kunci utama dalam menjaga kualitas pemilu. Dengan pemahaman itu, peserta sadar bahwa peran masyarakat—termasuk generasi muda—sangat penting agar pemilu berlangsung jujur dan adil.
Perjalanan peserta Jelajah Saka berlanjut menuju Stadion Hoegeng Pekalongan, yang menjadi lokasi Pos II dengan tema Pengawasan. Dari kejauhan, sudah tampak para pembina, Kak Vergy dan Kak Qori, berdiri menyambut kedatangan peserta dengan senyum semangat. Suasana stadion yang luas memberikan energi baru, seolah menjadi arena belajar demokrasi yang penuh keceriaan.
Begitu tiba di pos ini, peserta langsung dibagi ke dalam kelompok untuk mengikuti kuis seputar pengawasan kepemiluan. Pertanyaan-pertanyaan yang diberikan tidak hanya menguji pengetahuan dasar, tetapi juga mendorong peserta berpikir kritis tentang apa saja yang bisa diawasi dalam setiap tahapan pemilu. Mulai dari tahapan kampanye, distribusi logistik, hingga proses penghitungan suara, semua menjadi bahan diskusi menarik.
Yang membuat pos ini begitu diminati adalah cara penyampaian materinya. Tidak kaku, melainkan dikemas layaknya sebuah permainan. Setiap kelompok yang berhasil menjawab pertanyaan dengan benar mendapatkan kesempatan istimewa: menarik seutas tali hadiah yang sudah digantungkan. Saat tali ditarik, kejutan pun muncul—ada yang mendapatkan uang tunai, ada yang memperoleh snack, bahkan ada yang beruntung mendapatkan sosis sebagai bekal tambahan untuk perjalanan ke pos berikutnya.
Sorak-sorai tawa terdengar riuh setiap kali hadiah terbuka. Kelompok yang berhasil mendapatkan sosis langsung disambut teriakan riang dari teman-teman kelompok lain. Tidak jarang, peserta yang tidak mendapatkan hadiah pun tetap ikut bersorak, menikmati keseruan bersama-sama.
Selain kuis dan hadiah, Pos II juga menyediakan fasilitas refill air minum. Di tengah cuaca siang yang cukup terik, kesempatan untuk mengisi ulang botol minum menjadi hal yang sangat berarti. Para pembina mengingatkan peserta agar tetap menjaga kondisi fisik dan tidak mengalami dehidrasi, karena perjalanan masih panjang menuju pos berikutnya. Momen sederhana ini justru menambah kesan bahwa kegiatan Jelajah Saka tidak hanya mendidik soal demokrasi, tetapi juga memperhatikan kesehatan dan kebersamaan.
Dengan format belajar sambil bermain, Pos II tidak hanya menjadi ajang untuk menambah pengetahuan, tetapi juga ruang kebersamaan yang penuh energi positif. Wajah-wajah ceria peserta saat meninggalkan Stadion Hoegeng menjadi bukti bahwa pengawasan pemilu bisa dipelajari dengan cara yang menyenangkan.
Perjalanan Jelajah Saka akhirnya membawa peserta ke lokasi terakhir, yaitu Monumen Juang Kota Pekalongan. Tempat ini dipilih bukan tanpa alasan. Selain sebagai titik penutup rangkaian pos, Monumen Juang memiliki makna historis yang kuat, menjadi simbol perjuangan masyarakat Pekalongan dalam mempertahankan kemerdekaan. Dengan latar patung megah yang menjulang, suasana kegiatan semakin terasa khidmat sekaligus sarat makna.
Di pos ini, para peserta disambut oleh Kak Eko dan Kak Yuli yang bertugas sebagai pembina. Materi yang disampaikan berfokus pada alur pelaporan dugaan pelanggaran pemilu, sebuah aspek penting dalam tugas Bawaslu. Dengan bahasa yang lugas dan contoh-contoh nyata, peserta diajak memahami bagaimana sebuah laporan pelanggaran diajukan, dari mulai siapa yang bisa melaporkan, bukti apa saja yang diperlukan, hingga prosedur penanganannya.
Agar pembelajaran lebih menarik, peserta tidak hanya mendengar, tetapi juga langsung berlatih. Mereka diberikan potongan-potongan puzzle yang berisi tahapan pelaporan dugaan pelanggaran. Setiap kelompok kemudian duduk berkelompok di bawah patung Monumen Juang, sibuk menyusun puzzle hingga membentuk alur yang benar.
Pemandangan di lokasi ini benar-benar menarik. Di satu sisi, tampak keseriusan peserta menyusun puzzle dengan penuh konsentrasi. Mereka berdiskusi, saling melengkapi jawaban, dan memastikan urutan yang mereka susun sesuai prosedur yang dijelaskan. Namun di sisi lain, suasana juga dipenuhi tawa ringan ketika ada kelompok yang salah menempatkan potongan puzzle dan harus mengulang dari awal.
Pemilihan Monumen Juang sebagai pos terakhir memiliki pesan tersendiri. Lokasi ini bukan sekadar tempat yang luas dan strategis, tetapi juga sarat nilai historis. Monumen ini merepresentasikan semangat perjuangan, keberanian, dan pengorbanan masyarakat Pekalongan di masa lalu. Dengan berada di lokasi ini, para peserta seakan diajak merenungkan bahwa perjuangan menjaga demokrasi masa kini adalah kelanjutan dari perjuangan para pahlawan di masa lalu.
Pekalongan, sebuah kota yang kaya akan sejarah dan kebudayaan, memang menyimpan banyak jejak perjuangan rakyatnya. Monumen Juang bukan hanya sekadar landmark fisik, tetapi juga refleksi dari warisan budaya dan keteguhan masyarakat yang telah melintasi berbagai zaman. Keberadaannya mengingatkan generasi muda bahwa kekuatan kolektif dan semangat gotong royong menjadi kunci dalam mempertahankan nilai-nilai bangsa, termasuk dalam menjaga demokrasi.
Setelah melewati seluruh pos, peserta beristirahat dan melaksanakan salat berjamaah di Masjid Syuhada bagi yang Muslim. Rangkaian acara kemudian dilajutkan dengan prosesi pelantikan resmi.
Tak heran jika Monumen Juang 3 Oktober 1945 dipilih sebagai lokasi pelantikan resmi Anggota Saka Adhyasta Pemilu. Setelah menyelesaikan tantangan terakhir dalam Jelajah Saka, para peserta diarahkan untuk berkumpul di bawah monumen yang berdiri megah, simbol keberanian rakyat Pekalongan melawan penjajahan. Prosesi pelantikan berlangsung penuh khidmat. Satu per satu peserta menerima penyematan badge Saka Adhyasta, momen yang menghadirkan rasa haru sekaligus kebanggaan. Seolah, di bawah patung perjuangan itu, para pemuda meneguhkan tekad baru: melanjutkan semangat pahlawan dalam bentuk berbeda yakni menjaga integritas demokrasi melalui pengawasan pemilu.
Monumen ini sendiri bukanlah bangunan biasa. Ia dibangun untuk mengenang peristiwa heroik 3 Oktober 1945, ketika rakyat Pekalongan bangkit mengusir tentara Jepang. Peristiwa itu terjadi setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, ketika PPKI menetapkan UUD 1945, memilih Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden, serta menginstruksikan pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI) di setiap daerah untuk membantu penyelenggaraan pemerintahan.
Di Karesidenan Pekalongan, KNI resmi terbentuk pada 28 Agustus 1945 dengan tokoh-tokoh seperti Dr. Sumbadji, Dr. Ma’as, KH. Moch. Iljas, Kromo Lawi, dan lainnya. KNI inilah yang menjadi motor dalam proses pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang.
Puncaknya terjadi pada 3 Oktober 1945. Pukul 10.00 pagi, perundingan digelar di markas Kempeitai, polisi militer Jepang. Delegasi Indonesia yang dipimpin Dr. Sumbadji menuntut tiga hal: penyerahan senjata Jepang, jaminan keselamatan bagi tentara Jepang, dan pemindahan kekuasaan secara damai. Namun, Jepang berkhianat. Dari dalam gedung, mereka melepaskan tembakan senapan mesin. Rakyat yang mengepung markas pun menjadi korban. Puluhan orang roboh berlumuran darah, termasuk para pelajar seperti Nugroho, Mujiono, dan Murtono.
Meski dihujani peluru, rakyat tidak gentar. Amarah meledak. Mereka menyerbu markas, memanjat tembok, menaiki atap, dan berusaha merebut senjata. Pertempuran singkat itu berlangsung sekitar satu jam, namun menyisakan korban besar. Sebanyak 37 orang gugur, 12 orang lainnya cacat tetap.
Di tengah kekacauan, ada kisah heroik seorang pemuda barisan kereta api yang memanjat gedung untuk mengibarkan Merah Putih. Meski ditembak hingga jatuh, tangannya tetap menggenggam erat bendera, hingga nafas terakhir. Sebuah pengorbanan yang meneguhkan makna kemerdekaan.
Korban yang selamat kemudian ditolong oleh embrio PMI Pekalongan, dipelopori tokoh-tokoh medis seperti dr. Sumakno, dr. J.J. Tupamahu, dr. L.S. Lisapally, dr. Sunarya Said, dan dr. Sumbadji. Mayat-mayat yang sempat dibiarkan membusuk baru bisa diangkat tiga hari kemudian oleh sukarelawan rumah sakit dan PMI, di bawah pengawasan ketat Jepang. Peristiwa itu meninggalkan luka mendalam, namun sekaligus menjadi tonggak pengambilalihan kekuasaan Jepang oleh rakyat Pekalongan.
Kini, di tempat yang sama, puluhan tahun setelah darah para pejuang tumpah, generasi muda berdiri tegak untuk dilantik sebagai Anggota Saka Adhyasta Pemilu. Bedanya, mereka tidak lagi mengangkat senjata, melainkan mengangkat komitmen menjaga demokrasi. Jika dulu para pahlawan melawan penjajahan dengan bambu runcing, maka kini para pemuda melawan kecurangan dengan pengetahuan, pengawasan, dan keberanian bersuara.
Prosesi pelantikan di Monumen 3 Oktober 1945 bukan sekadar acara seremonial. Ia adalah peneguhan bahwa semangat perjuangan harus diwariskan lintas zaman. Dari Pekalongan, lahir pesan yang kuat: perjuangan tidak pernah berhenti. Ia hanya berganti bentuk, dari melawan penjajah bersenjata menjadi melawan segala bentuk kecurangan yang merusak demokrasi.
Satu per satu peserta menerima penyematan badge Saka Adhyasta, tanda mereka sah menjadi bagian dari keluarga besar pramuka pemilu.
Ketua Bawaslu Kota Pekalongan, Kak Miftahuddin, menegaskan bahwa hadirnya Saka Adhyasta Pemilu merupakan langkah nyata dalam menanamkan kesadaran demokrasi sejak dini.
“Kami ingin melahirkan generasi muda yang peduli, memahami aturan, dan berani berperan aktif dalam mengawal pemilu yang jujur dan adil. Saka Adhyasta adalah wadah pembelajaran sekaligus pengabdian bagi pramuka di bidang kepemiluan,” ungkapnya.
Usai prosesi pelantikan yang berlangsung khidmat di Monumen Juang 3 Oktober 1945, suasana semakin semarak ketika diumumkan kelompok-kelompok terbaik yang berhasil menunjukkan prestasi selama rangkaian kegiatan. Mereka mendapat apresiasi dan penghargaan sebagai bentuk motivasi sekaligus pengakuan atas kerja keras serta kekompakan yang ditunjukkan sepanjang kegiatan.
Namun perjalanan belum berhenti di sana. Senja mulai meredup ketika para peserta diarahkan kembali menuju Kantor Bawaslu Kota Pekalongan, yang juga dikenal sebagai Pangkalan Saka Adhyasta Pemilu. Setibanya di gerbang, sebuah tradisi simbolis menanti. Para peserta disiram dengan air bunga, sebuah prosesi sederhana namun sarat makna, melambangkan kesucian niat dan tekad baru dalam mengemban amanah.
Tak hanya itu, mereka juga dipersilakan mencium bendera merah putih, sebuah momen penuh haru yang seolah mengikat janji pengabdian kepada tanah air. Di bawah kibaran sang saka, semangat kebangsaan dan cinta demokrasi semakin tertanam dalam diri para anggota baru.
Momen ini menjadi penutup yang manis sekaligus berkesan, meneguhkan bahwa Saka Adhyasta Pemilu bukan sekadar wadah kegiatan, melainkan ruang pembentukan karakter, penguatan nasionalisme, dan komitmen untuk menjaga tegaknya demokrasi Indonesia. (msh27)
#HumasBawasluKotaPekalongan