Waspadai Politik Uang Lewat Dompet Digital Bawaslu Perlu Antisipasi
|
Pekalongan – Minggu (7/9/2025), Dihadapan rekan rekan media di sela kegiatan Peningkatan Kapasitas Bawaslu Kota Pekalongan, Anggota Bawaslu Provinsi Jawa Tengah, Wahyudi Sutrisno, mengingatkan jajaran pengawas pemilu untuk lebih waspada terhadap potensi pelanggaran yang muncul seiring perkembangan teknologi digital. Menurutnya, bentuk pelanggaran pemilu tidak lagi hanya bersifat konvensional, namun sudah merambah ke ranah digital, termasuk penggunaan kecerdasan buatan (AI) dan platform transaksi elektronik.
“Kalau dulu orang membagi amplop, ke depan bisa saja dilakukan lewat koin digital seperti Shopee Pay, OVO, Gopay dan lainnya. Ini harus diwaspadai,” tegas Wahyudi.
Ia menekankan bahwa manipulasi konten digital, termasuk penyalahgunaan AI, dapat melahirkan modus-modus baru dalam pelanggaran pemilu. Karena itu, menurutnya, Bawaslu perlu mengantisipasi sejak dini agar tidak kecolongan dalam menghadapi dinamika tersebut.
Selain itu, Wahyudi juga menyoroti pentingnya pendidikan politik yang lebih luas. Ia menyarankan agar sosialisasi yang dilakukan tidak hanya menyasar pemilih pemula, tetapi juga calon pemilih pemula.
“Pada masa non tahapan ini, kita belajar dari persoalan yang ada untuk perbaikan ke depan. Termasuk melibatkan Gen-Z, khususnya siswa SMP kelas 3, karena pada tahun 2029 mereka sudah menjadi pemilih pemula. Saya mengutip pernyataan Pak Goyud (Wahyudin Noor Aly) bahwa pendidikan politik harus diberikan kepada mereka yang belum mengenal Pemilu seperti siswa SMP kelas 3,” jelasnya.
Menurut Wahyudi, hal tersebut penting agar generasi muda tidak menjadi pemilih pragmatis. Dengan bekal pengetahuan sejak dini, pelajar dapat menanamkan pondasi bernegara dan berdemokrasi yang sehat melalui Pemilu. Ia menambahkan, saat ini Bawaslu memiliki sejumlah program edukasi politik, seperti Bawaslu Goes to Campus, Bawaslu Goes to School, hingga Bawaslu Mengajar, yang ditujukan bagi siswa SMP hingga mahasiswa.
Sementara itu, Ketua Bawaslu Kota Pekalongan, Miftahuddin, menegaskan bahwa tantangan terbesar dalam penyelenggaraan pemilu ke depan tidak hanya berkaitan dengan praktik konvensional, melainkan juga perkembangan teknologi digital yang begitu cepat. Menurutnya, ruang digital saat ini sudah menjadi arena baru dalam kontestasi politik, sehingga regulasi yang ada harus mampu mengikuti perubahan zaman.
“Tantangan teknologi digital, termasuk AI, sangat luar biasa. Regulasi tentang SARA, politik identitas, maupun digitalisasi perlu direvisi bahkan diganti agar sesuai dengan dinamika Pemilu mendatang. Jika tidak diantisipasi, ruang digital bisa menjadi celah penyebaran hoaks, ujaran kebencian, bahkan politik uang dengan cara-cara baru yang lebih sulit dilacak,” tegasnya.
Miftahuddin menambahkan, perkembangan teknologi informasi menghadirkan dua sisi sekaligus: di satu sisi menjadi sarana edukasi dan keterbukaan informasi bagi masyarakat, tetapi di sisi lain juga bisa disalahgunakan untuk kepentingan pragmatis yang merusak kualitas demokrasi. Karena itu, Bawaslu menilai perlu adanya pembaruan regulasi yang komprehensif, tidak hanya menyesuaikan pada aspek teknis pengawasan, tetapi juga memberikan kepastian hukum yang kuat dalam menghadapi pelanggaran berbasis digital.
“Ini akan kami usulkan ke Komisi II DPR RI agar nantinya peraturan perundang-undangan yang lahir benar-benar adaptif, progresif, dan mampu menjawab tantangan zaman. Sebab, kalau regulasi masih berpijak pada pola lama, maka pengawasan terhadap praktik-praktik baru di dunia digital akan sangat sulit dilakukan,” jelas Miftahuddin.
Melalui pernyataan kedua narasumber ini, tampak jelas bahwa pengawasan pemilu di era digital tidak hanya membutuhkan kecermatan teknis, tetapi juga visi jauh ke depan, agar demokrasi tetap berjalan sehat dan berkualitas.