Mengabadikan Sejarah, Pengawasan Pemilu dan Pilkada di Kota Pekalongan Dibukukan.
|
Kota Pekalongan – Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) Kota Pekalongan menuangkan cerita perjalanan dan dinamika pengawasan Pemilu dan Pilkada di Kota Pekalongan dalam buku yang berjudul “Meneropong Pengawasan Pemilu dan Pilkada Kota Pekalongan Era 2004-2023â€. Buku yang ditulis oleh anggota Bawaslu Kota Pekalongan tersebut, diluncurkan bersamaan dengan acara bedah buku yang dilaksanakan di Kantor Bawaslu Kota Pekalongan, Kamis (11/08/2022).
Kegiatan tersebut menghadirkan para mantan anggota Panwaslu Kota Pekalongan dari era 2004-2023.
Buku tersebut beriskan dinamika pengawasan Pemilu dan Pilkada di masing-masing era berserta profil anggota Panwaslu era 2004-2018 dan Bawaslu era 2018-2023. Kegiatan tersebut dipandu oleh anggota Bawaslu Kota Pekalongan Bambang Sukoco yang merupakan mantan Panwaslu Kota Pekalongan. Kegiatan tersebut menghadirkan dua orang narasumber yang merupakan anggota Panwaslu pada era sebelumnya, yakni Listyo Budi Santoso (Panwas Kota Pekalongan Tahun 2004,2008,2010,2013 dan 2014) dan Aris Nur Khamidi, M.Ag. (Panwas Kota Pekalongan tahun 2005,2010,2013 dan 2014). Narasumber tersebut mengisahkan perjalanan Panwaslu Kota Pekalongan dalam proses pengawasan Pemilu maupun Pilkada yang telah dirangkum dalam buku.
Kedua narasumber menceritakan suka dan duka menjadi Panwaslu Kota Pekalongan pada tahun 2004,2005 dan 2010 yang menurut mereka banyak dinamika serta kejadian yang terjadi pada saat itu. “Pemilu tahun 2004 suasananya masih tegang karena dipengaruhi Pemilu sebelumnya yaitu tahun 1999, terutama isu masalah keamanan,†tutur Listyo Budi Santoso.
Dia juga menceritakan bagaimana pidana tentang money politic belum jelas dasar hukumnya. Sehingga saat itu, Panwaslu memilih banyak melakukan pencegahan. “Salah satunya kami amankan beras satu doplak (mobil pick-up) sebelum dibagikan. Jadi kami amankan dulu agar hari H tidak ada pembagian. Selesai Pemilu kami kembalikan lagi berasnya,†tambahnya.
Sementara Aris Nur Khamidi mengisahkan bagaimana perjalanan mengawasi Pilkada pada 2005 dan 2010. Pada Pilkada 2005 yang merupakan Pilkada langsung yang pertama kali, Kota Pekalongan menjadi salah satu wilayah yang menjadi perhatian bagi para pengamat politik. Sebab saat itu Kota Pekalongan terkenal dengan sumbu pendek.
“Tapi alhamdulillah pelaksanaan bisa sukses. Tapi realita di lapangan, banyak sekali terjadi praktik money politic meskipun tidak ada yang sampai masuk pemberkasan. Kemudian yang lain terkait APK di mana muncul sangat banyak sekali di pintu-pintu ruko dan toko. Ini mungkin karena euforia Pilkada pertama,†katanya.
Aris melanjutkan, kondisi yang tak kalah panas terjadi pada Pilkada 2010. Saat itu di Kota Pekalongan terjadi kondisi hanya satu calon yang mendaftar saat itu belum ada dasar hukum mengenai calon tunggal. Bahkan hingga dilakukan perpanjangan pendaftaran, belum juga muncul calon lain. Baru saat perpanjangan pendaftaran yang kedua muncul satu calon lain dari independen. “Saat ada calon independen, juga muncul masalah. Calon yang maju dilaporkan menggunakan tanda tangan palsu,†tambah Aris.
Tak cukup disitu, Kantor Panwaslu juga sempat didatangi puluhan orang yang membawa serta uang dan orang yang diduga pelaku money politic untuk dilaporkan. Usai Pilkada, uang yang dilaporkan menumpuk di Kantor Panwaslu dan itu menjadi permasalahan karena Panwaslu masih bersifat adhoc sehingga tugasnya selesai setelah Pemilu selesai.
“Hal ini kemudian menjadi salah satu dasar Panwaslu dijadikan badan. Saat kasus itu kami sampaikan dalam pertemuan di Kalimantan kemudian disambut usulan-usulan agar Panwaslu diubah menjadi badan. Jadi Kota Pekalongan mempunyai andil dalam sejarah perubahan itu,†jelasnya.
Ketua Bawaslu, Sugiharto mengatakan, pembuatan buku tersebut merupakan salah satu upaya Bawaslu untuk mencatat dan mendokumentasikan perjalanan pengawasan Pemilu di Kota Pekalongan yang penuh dinamika bisa menjadi pelajaran pelaksaan Pemilu ke depan.
“Minimal buku ini bisa dijadikan pelajaran dan informasi bagis masyarakat tentang apa tupoksi Bawaslu serta inspirasi-inspirasi lain yang bisa diambil dari perjalanan pengawasan Pemilu yang sudah berlalu,†kata Sugiharto.

Buku tersebut juga bisa menjadi rujukan literasi dan referensi bagi pelajar, mahasiswa hingga akademisi untuk memperluas cakrawala informasi terkait kinerja pengawasan Pemilu. “Semoga hadirnya buku ini bisa bermanfaat bagi masyarakat di Kota Pekalongan,†harapnya. (nul/ver)
Humas Bawaslu Kota Pekalongan
Kegiatan tersebut menghadirkan para mantan anggota Panwaslu Kota Pekalongan dari era 2004-2023.
Buku tersebut beriskan dinamika pengawasan Pemilu dan Pilkada di masing-masing era berserta profil anggota Panwaslu era 2004-2018 dan Bawaslu era 2018-2023. Kegiatan tersebut dipandu oleh anggota Bawaslu Kota Pekalongan Bambang Sukoco yang merupakan mantan Panwaslu Kota Pekalongan. Kegiatan tersebut menghadirkan dua orang narasumber yang merupakan anggota Panwaslu pada era sebelumnya, yakni Listyo Budi Santoso (Panwas Kota Pekalongan Tahun 2004,2008,2010,2013 dan 2014) dan Aris Nur Khamidi, M.Ag. (Panwas Kota Pekalongan tahun 2005,2010,2013 dan 2014). Narasumber tersebut mengisahkan perjalanan Panwaslu Kota Pekalongan dalam proses pengawasan Pemilu maupun Pilkada yang telah dirangkum dalam buku.
Kedua narasumber menceritakan suka dan duka menjadi Panwaslu Kota Pekalongan pada tahun 2004,2005 dan 2010 yang menurut mereka banyak dinamika serta kejadian yang terjadi pada saat itu. “Pemilu tahun 2004 suasananya masih tegang karena dipengaruhi Pemilu sebelumnya yaitu tahun 1999, terutama isu masalah keamanan,†tutur Listyo Budi Santoso.
Dia juga menceritakan bagaimana pidana tentang money politic belum jelas dasar hukumnya. Sehingga saat itu, Panwaslu memilih banyak melakukan pencegahan. “Salah satunya kami amankan beras satu doplak (mobil pick-up) sebelum dibagikan. Jadi kami amankan dulu agar hari H tidak ada pembagian. Selesai Pemilu kami kembalikan lagi berasnya,†tambahnya.
Sementara Aris Nur Khamidi mengisahkan bagaimana perjalanan mengawasi Pilkada pada 2005 dan 2010. Pada Pilkada 2005 yang merupakan Pilkada langsung yang pertama kali, Kota Pekalongan menjadi salah satu wilayah yang menjadi perhatian bagi para pengamat politik. Sebab saat itu Kota Pekalongan terkenal dengan sumbu pendek.
“Tapi alhamdulillah pelaksanaan bisa sukses. Tapi realita di lapangan, banyak sekali terjadi praktik money politic meskipun tidak ada yang sampai masuk pemberkasan. Kemudian yang lain terkait APK di mana muncul sangat banyak sekali di pintu-pintu ruko dan toko. Ini mungkin karena euforia Pilkada pertama,†katanya.
Aris melanjutkan, kondisi yang tak kalah panas terjadi pada Pilkada 2010. Saat itu di Kota Pekalongan terjadi kondisi hanya satu calon yang mendaftar saat itu belum ada dasar hukum mengenai calon tunggal. Bahkan hingga dilakukan perpanjangan pendaftaran, belum juga muncul calon lain. Baru saat perpanjangan pendaftaran yang kedua muncul satu calon lain dari independen. “Saat ada calon independen, juga muncul masalah. Calon yang maju dilaporkan menggunakan tanda tangan palsu,†tambah Aris.
Tak cukup disitu, Kantor Panwaslu juga sempat didatangi puluhan orang yang membawa serta uang dan orang yang diduga pelaku money politic untuk dilaporkan. Usai Pilkada, uang yang dilaporkan menumpuk di Kantor Panwaslu dan itu menjadi permasalahan karena Panwaslu masih bersifat adhoc sehingga tugasnya selesai setelah Pemilu selesai.
“Hal ini kemudian menjadi salah satu dasar Panwaslu dijadikan badan. Saat kasus itu kami sampaikan dalam pertemuan di Kalimantan kemudian disambut usulan-usulan agar Panwaslu diubah menjadi badan. Jadi Kota Pekalongan mempunyai andil dalam sejarah perubahan itu,†jelasnya.
Ketua Bawaslu, Sugiharto mengatakan, pembuatan buku tersebut merupakan salah satu upaya Bawaslu untuk mencatat dan mendokumentasikan perjalanan pengawasan Pemilu di Kota Pekalongan yang penuh dinamika bisa menjadi pelajaran pelaksaan Pemilu ke depan.
“Minimal buku ini bisa dijadikan pelajaran dan informasi bagis masyarakat tentang apa tupoksi Bawaslu serta inspirasi-inspirasi lain yang bisa diambil dari perjalanan pengawasan Pemilu yang sudah berlalu,†kata Sugiharto.

Buku tersebut juga bisa menjadi rujukan literasi dan referensi bagi pelajar, mahasiswa hingga akademisi untuk memperluas cakrawala informasi terkait kinerja pengawasan Pemilu. “Semoga hadirnya buku ini bisa bermanfaat bagi masyarakat di Kota Pekalongan,†harapnya. (nul/ver)
Humas Bawaslu Kota Pekalongan